Senin, 15 Oktober 2012
Tugas I Zat Kimia masih Ditemukan dalam Makanan Anak-anak
MASALAH keracunan makanan tampaknya sudah langganan di Indonesia. Hampir setiap tahun kasus keracunan selalu ada dan angka kejadiannya pun cukup tinggi. Dan, dari seluruh kasus keracunan makanan yang ada, semua bersumber pada pengolahan makanan tidak higienis. Ironisnya makanan tidak higienis ini banyak dijual di kantin sekolah.
Masalah keamanan pangan, menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Sampurno, menjadi isu strategis saat ini.
Industri rumah tangga di bidang pangan (IRTP) berjumlah lebih dari 500 ribu unit yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, pada saat yang sama IRTP juga mempunyai potensi kerawanan keamanan pangan terutama dalam kebersihan sarana, pemilihan bahan, proses pengolahan, dan monitoring mutu produk di peredaran.
Demikian juga makanan jajanan (street food) dan jajanan anak sekolah, perlu mendapat perhatian serius dan konsisten dari semua pihak.
Terutama adanya fenomena penggunaan bahan-bahan kimia yang dilarang dalam makanan. Perlu dilakukan pembinaan yang lebih intensif kepada IRTP dan pembuat makanan jajanan terhadap pemasok bahan kimia. Sumber terbesar keracunan makanan yang terjadi di Indonesia berada pada usaha jasa boga atau katering untuk karyawan maupun jajanan anak sekolah.
Pembinaan dan pengawasan usaha jasa boga dan jajanan anak sekolah ini ada pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Meski demikian, lanjutnya, Badan POM tetap melakukan proaktif menjalin kerja sama dengan mitra terkait.
"Berdasarkan hasil pengujian laboratorium Badan POM sebagian besar kasus keracunan makanan akibat makanan telah terkontaminasi mikroba patogen Staphyllococcus areus."
Hal ini mengindikasikan adanya masalah kebersihan dan proses memasak makanan yang tidak higienis. Sedangkan dari uji sampling jajanan sekolah dari Banda Aceh sampai Jayapura ditemukan makanan mengandung formalin dan boraks pada bakso dan mi untuk pengenyal dan pengawet serta Rhodamin B pada sirup es mambo atau pewarna merah pada es.
Faktor Penyebabnya
Penjaga kantin sekolah, mereka belum pernah didatangi petugas kesehatan untuk mendapatkan penyuluhan tentang makanan yang aman untuk anak-anak. Pewarna, pengawet, atau penguat rasa alamiah sangat sulit dilakukan di Indonesia karena harganya cukup mahal. Apalagi dijual untuk konsumsi anak sekolah, industri rumah tangga lebih menyukai bahan kimia. Kalau zat pewarna jelas warnanya lebih ngejreng dibandingkan dengan pewarna dari Angkak. Warnanya kurang menarik dan mahal harganya. Demikian juga dengan pemanis buatan, seperti aspartam jauh lebih disukai produsen karena hanya satu tetes saja sudah cukup manis dibandingkan gula asli dari tebu. Sedangkan penguat rasa MSG, lanjutnya, kalau di luar negeri dipakai penguat rasa dari tumbuhan. Harganya memang mahal dibandingkan MSG hasil fermentasi, seperti yang dipakai di Indonesia. Tujuan penggunaan bahan pengawet ini adalah untuk menghambat atau menghentikan aktivitas mikroba bakteri, kapang, khamir. "Akhir tujuannya dapat meningkatkan daya simpan suatu produk olahan, meningkatkan cita rasa, warna, menstabilkan, memperbaiki tekstur, sebagai zat pengental/penstabil, antilengket, mencegah perubahan warna, memperkaya vitamin, mineral, dan sebagainya.
Cara mengatasi
Cara mengatasi kasus di atas yaitu dengan pemerintah menganjurkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan mengawasan secara ketat makanan yang di perjualbelikan. Membentuk Pusat Kewaspadaan dan Penanggulangan Keamanan Pangan di Indonesia (National Center Food Safety Alert and Respons). Dan tak kalah penting, lanjut Sampurno, Badan POM perlu meningkatkan koordinasi lintas sektor tentang pengelolaan dan pengamanan bahan kimia.
BY: Iqbal
NPM: 16209097
Kls : 4EA17
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar